Selasa, 13 Maret 2012

Doa Untuk Jenazah yang Telah Dikubur

Doa Untuk Jenazah yang Telah Dikubur
Dianjurkan untuk mendoakan jenazah pasca pemakanan. Di antara bentuk doanya adalah
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ثَــبـِّـــتْهُ
Ya Allah, ampunilah dia dan kuatkanlah dia (untuk menjawab pertanyaan malaikat).
Ini berdasarkan hadis bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamselesai menguburkan jenazah, kemudian beliau berdiri dan mengatakan,
استغفِروا لأخيكم واسألوا له التثبيتَ فإنه الآن يُسْأَل
Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian dan mintalah kekuatan untuknya karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud, dari ‘Utsman bin Affan, dan dishahihkan Al-Albani)


Memakai Alas Kaki ke Kuburan

Tidak boleh memasuki area pemakaman dengan menggunakan sandal atau alas kaki, kecuali karena darurat. Disebutkan dalam hadis dari Basyir –bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pemakaman kaum muslimin. Tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menajamkan pandangan ke arah seseorang yang berada di makam. Ternyata orang ini memakai sandal kulit sapi yang telah dibersihkan bulunya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« يا صاحب السبتيتين ويحك ألق سبتيتيك »
Hai yang memakai sandal!, bagaimana kau ini, lepas sandalmu.”
Kemudian orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa yang mengingatkan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia langsung melepas sandalnya dan melemparkannya. (HR. Abu Daud, no.3232 dan dishahihkan Al-Albani)

Dzikir ketika Mengantarkan Jenazah

Dzikir Mengantar Jenazah

Imam An-Nawawi mengatakan dalam Bab dzikir yang dibaca ketika mengiringi jenazah: “Dianjurkan bagi orang yang mengantarkan jenazah untuk menyibukkan dirinya dengan mengingat Allah dan merenungkan apa yang akan dia temui setelah kematian, bagaimana tempat kembalinya, dan apa yang akan dia dapatkan di sana, serta memikirkan bahwa kematian merupakan penghujung dunia dan kondisi akhir penduduk dunia.
Kemudian, jangan sekali-kali berbicara mengenai sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Karena pada saat itu adalah waktu untuk merenung dan berpikir tentang kehidupan setelah mati. Sangat tercela jika digunakan untuk hal yang melalaikan, main-main, dan sibuk dengan omong kosong. Karena berbicara yang tidak ada manfaatnya terlarang dalam setiap keadaan, maka baimana lagi dalam kondisi semacam ini.
Kemudian ketauhilah, bahwa yang benar dan sesuai dengan kebiasaan para sahabat adalah diam ketika mengiringi jenazah. Tidak boleh mengeraskan suara dengan membaca Alquran atau dzikir, atau bacaan lainnya. Inilah yang benar. Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang bersikap sebaliknya. (Al-Adzkar, karya An-Nawawi, Hal.160)

Membaca Doa Setelah Shalat Jenazah

Tidak kami jumpai adanya riwayat yang menganjurkan berdoa setelah shalat jenazah. Semua doa yang diberikan kepada mayit, dibaca ketika shalat jenazah, dan setelah dimakamkan. Jika ingin mendoakan mayit dengan doa yang banyak, hendaknya dilakukan ketika shalat jenazah. Sebagian ulama, seperti Syaikh Abu Umar Usamah al-Utaibi menegaskan bahwa membaca doa setelah shalat jenazah termasuk perbuatan bid’ah. Beliau mengatakan,
فدعاء الإمَام بَعْدَ صلاة الجنازة بالمأمومين وتأمينهم عَلَى دعائه مِنَ البدع الشنيعة المحرمة، لأَنَّ النَّبِيّ صلى الله عَلَيْهِ وسلم إنما دل أمته عَلَى الدُّعَاء للميت أثناء الصَّلاة عَلَى الجنازة وبعد الفراغ مِنْ دفنه وخير الهدي هدي مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّم-
“Doa imam setelah shalat jenazah bersama makmum dan mereka mengaminkannya termasuk perbuatan bid’ah yang banyak tersebar. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan kepada umatnya terkait doa bagi jenazah untuk dilakukan ketika shalat jenazah dan setelah setelah memakamkan mayit. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mengubur Jenazah dengan Peti

Hukum Mengubur Jenazah dengan Peti

Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang terlarangnya mengubur mayitdi dalam peti, jika tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal itu. Lain halnya jika ada kebutuhan untuk mengubur jenazah di dalam peti, seperti tanahnya mudah longsor atau dikhawatirkan akan dibongkar binatang buas, sebagian ulama membolehkannya.
Dalam kumpulan Fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:
Tidak dikenal adanya kebiasaan mengubur mayit dengan peti di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat. Sementara prinsip hidup terbaik yang seharusnya ditempuh kaum muslimin adalah prinsip hidup mereka. Karena itu, dilarang mengubur mayit dengan peti. Baik tanahnya keras, biasa, atau mudah longsor. Jika mayit pernah berwasiat agar dia dikuburkan dengan peti maka wasiatnya tidak boleh ditunaikan. Hanya saja, ulama syafi’iyah membolehkan menggunakan peti jika tanahnya berlumpur atau mudah longsor. Jika dia berwasiat, tidak boleh dilaksanakan, kecuali dalam kondisi seperti ini. (Fatawa Lajnah Daimah, 2:312)
Ibnu Qudamah mengatakan, “Tidak ada anjuran memakamkan mayit dengan peti. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat. Disamping itu, perbuatan ini termasuk meniru kebiasaan orang sombong. Sementara tanah ini cukup kering untuk menampung jenazahnya. (Al-Mughni, 2:379)
Dalam kitab Al-Inshaf dinyatakan:
Dilarang mengubur dengan peti. Meskipun mayitnya seorang wanita. (Al-Inshaf, 4:340)
Sementara Imam Asy-Syarbini Asy-Syafii mengatakan, “Dilarang mengubur mayit dengan peti dengan sepakat ulama. Karena ini adalah perbuatan bid’ah, kecuali di tanah lembek atau berlumpur. Dalam kondisi ini tidak dilarang karena ada maslahat. Wasiat untuk mengubur dengan peti tidak boleh ditunaikan, kecuali untuk keadaan tanah tersebut. Keadaan yang sama adalah ketika jasad mayit rusak karena terbakar, sehingga jasadnya tidak bisa dibungkus kecuali dengan peti.” (Mughni Al-Muhtaj, 4:343)
Allahu a’lam

Tabur Bunga Di Kubur

Penjelasan tabur bunga di kubur.

Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.
Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.
Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).
Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini  tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).
Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).
Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.
Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين
“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).
Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).
Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.
Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).
Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.
Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.
Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka  (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dariAhkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).
Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.